Pura Pucak Mangu adalah Pura Kahyangan Jagat dengan dua fungsi yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Catur Loka Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan kepada Tuhan yang melindungi empat penjuru Bhuwana Agung. Pura Pucak Mangu di arah utara, arah selatan Pura Andakasa, arah timur Pura Lempuyang Luhur dan arah barat Pura Luhur Batukaru. Demikian dinyatakan dalam Lontar Usada Bali. Bagaimana sejarah berdirinya Pura Pucak Mangu itu?
Pura Pucak Mangu Miliki Dua PenataranOM Svastyastu,
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/10/24/bd2.htm
Kiriman: Putra Semarapura
Pura Pucak Mangu adalah Pura Kahyangan Jagat dengan dua fungsi yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Catur Loka Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan kepada Tuhan yang melindungi empat penjuru Bhuwana Agung. Pura Pucak Mangu di arah utara, arah selatan Pura Andakasa, arah timur Pura Lempuyang Luhur dan arah barat Pura Luhur Batukaru. Demikian dinyatakan dalam Lontar Usada Bali. Bagaimana sejarah berdirinya Pura Pucak Mangu itu?
========================================
Pura Padma Bhuwana itu adalah sembilan pura yang berada di sembilan penjuru Bali sebagai lambang Padma Bhuwana yaitu simbol alam semesta atau Bhuwana Agung. Pura Pucak Mangu sebagai Pura Padma Bhuwana berada di arah barat laut tempat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Batara Sengkara -- dewanya tumbuh-tumbuhan.
Di Pura Pucak Mangu beliau dipuja di Meru Tumpang Lima dengan sebutan Batara Pucak Mangu dengan upacara piodalan-nya setiap Purnamaning Sasih Kapat. Sedangkan upacara melastinya ke Pesiraman Pekebutan yang terletak di Desa Bukian di sebelah timur Desa Plaga.
Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Penataran di Ulun Danu Beratan di Kabupaten Tabanan dan Penataran di Desa Tinggan Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Pura Penataran Tinggan terletak di Desa Tinggan Kecamatan Petang Kabupaten Badung ini didirikan pada tahun 1752 Saka atau 1830 Masehi oleh Cokorda Nyoman Mayun.
Di Pura Penataran Tinggan ini terdapat beberapa pelinggih pokok yaitu Meru Tumpang Sebelas pelinggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang sembilan pelinggih Batara di Teratai Bang, Meru Tumpang Tiga pelinggih Batara di Pucak Bon, Gedong dengan lima ruang (sejenis Pelangkiran) pelinggih Batara di Pucak Sangkur, Padma Rong Tiga untuk Pengubengan, Padmasana sebagai Surya pelinggih Saksi.
Dengan dibangunnya Pura Penataran Tinggan ini sehingga Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran. Pura Penataran yang pertama didirikan oleh I Gst. Agung Putu yang setelah menjadi Raja Mengwi pertama bergelar Cokorda Sakti Blambangan. Penataran Pura Puncak Mangu yang pertama didirikan tahun 1555 Saka atau tahun 1633 Masehi di tepi Danau Beratan karena itu disebut juga Pura Ulun Danu Beratan. Pura ini berada di sebelah Pura Dalem Purwa.
Di Pura Penataran pertama ini Ida Batara Puncak Mangu distanakan di Pelinggih Meru Tumpang Tiga, pelinggih ini juga disebut Pelinggih Lingga Petak, karena di bawah Meru itu dijumpai batu putih sebesar manusia diapit oleh batu hitam dan batu putih. Ada juga Meru Tumpang Pitu sebagai Pesimpangan Batara Teratai Bang. Meru Tumpang Sebelas sebagai Pelinggih Batara Ulun Danu atau disebut Batara Tengahing Segara.
Penataran Pura Pucak Mangu yang kedua didirikan tahun 1752 Saka atau tahun 1830 Masehi oleh Cokorda Nyoman Mayun. Hal ini disebabkan pada tahun tersebut Kerajaan Mengwi mengalami kemunduran. Puri Marga menguasai daerah di sekitar Danau Beratan pernah tidak patuh dan bermasalah dengan Kerajaan Mengwi.
Karena itu anggota kerajaan dan masyarakat Mengwi mengalami kesulitan kalau ingin sembahyang ke Pura Penataran di Ulun Danu Beratan. Karena itu Raja memutuskan untuk membangun Pura Penataran Pucak Mangu di Desa Tinggan. Hal itulah yang menyebabkan Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran.
Upacara di Pucak Mangu dilakukan dua kali setahun. Pada Purnama Sasih Kapat dilakukan upacara piodalan baik di Pura Pucak Mangu maupun di Pura Penataran Tinggan. Sedangkan Purnama Sasih Kapitu dilakukan upacara Ngebekin di kedua pura tersebut. Upacara piodalan dan upacara ngebekin di Pura Pucak Mangu diselenggarakan oleh delapan kelompok pemaksan yaitu Tinggan, Plaga, Bukian, Kiadan, Nungnung, Semanik, Tiyingan dan Auman. Delapan pemaksan inilah yang membantu Puri Mengwi untuk melaksanakan kedua upacara pokok tersebut.
Di samping upacara piodalan setiap tahun juga diadakan upacara Ngebekin. Fungsi upacara Ngebekin adalah sebagai sarana pemujaan kepada Tuhan sebagai Dewa Sangkara untuk memohon agar hasil tumbuh-tumbuhan terutama padi dapat berhasil dengan baik. Dewa Sangkara adalah manifestasi Tuhan sebagai penjaga tumbuh-tumbuhan. Banten pokok dalam upacara Ngebekin yakni Banten Sorohan Pelupuhan.
Upacara Ngebekin ini tujuannya adalah memohon Tirtha Ngebekin. Umat dari delapan kelompok pemaksan setiap upacara Ngebekin membawa sujang yaitu potongan bambu yang masih hijau sebagai tempat tirtha.
Tirtha Ngebekin ini tidak boleh digunakan untuk nyiratang atau diminumkan kepada manusia. Tirtha Ngebekin itu hanya untuk kasiratang (dicipratkan) kepada sawah ladang dan tumbuh-tumbuhan pertanian. Tirtha Ngebekin itulah sebagai simbol penyucian dan pemeliharaan segala tumbuh-tumbuhan pertanian sebagai sumber hidup umat manusia.
Upacara Ngebekin ini intinya tidak berbeda dengan upacara memandikan Lingga Yoni dalam sistem Siwa Pasupata. Air dengan berbagai perlengkapannya yang dijadikan sarana memandikan Lingga itu menjadi tirtha untuk memercikan tumbuh-tumbuhan di sawah ladang simbol mohon kesuburan.
Upacara memandikan Lingga inilah dilanjutkan dengan istilah upacara Ngebekin dalam sistem Siwa Sidhanta. Meski demikian, keberadaan Lingga di Pura Pucak Mangu tetap dipertahankan di Pelinggih Tepasana. Yang menarik di sini adalah banten utama yang digunakan di Pura Pucak Mangu adalah Banten Pelupuhan Bebek.
Banten-banten yang dipersembahkan ke Pura Pucak Mangu tidak boleh menggunakan daging babi. Kecuali kalau ada perbaikan pura terus dilangsungkan upacara Ngeruwak barulah banten Ngeruwak itu saja yang boleh menggunakan guling babi. Sedangkan di Pura Penataran Tinggan dipergunakan Banten Pelupuhan Babi.
Banten Pelupuhan Babi ini menggambarkan cerita Batara Wisnu turun mencari pangkal Lingga ke bawah dengan menjadi babi hitam. Terus ketemu dengan Dewi Wasundhari. Dari pertemuan itu lahirlah Boma. Dewa Wisnu simbol air dan Dewi Wasundhari simbol pertiwi. Pertemuan air dan pertiwi melahirkan Boma. Kata Boma dalam bahasa Sansekerta artinya pohon. Canakya Niti menyatakan bahwa air, tumbuh-tumbuhan, dan kata-kata bijak adalah tiga ratna permata bumi. Kalau tiga hal ini diutamakan oleh manusia maka kehidupan sejahtera itu pasti dicapai.
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/10/24/bd2.htm
Kiriman: Putra Semarapura
Pura Pucak Mangu adalah Pura Kahyangan Jagat dengan dua fungsi yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Catur Loka Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan kepada Tuhan yang melindungi empat penjuru Bhuwana Agung. Pura Pucak Mangu di arah utara, arah selatan Pura Andakasa, arah timur Pura Lempuyang Luhur dan arah barat Pura Luhur Batukaru. Demikian dinyatakan dalam Lontar Usada Bali. Bagaimana sejarah berdirinya Pura Pucak Mangu itu?
========================================
Pura Padma Bhuwana itu adalah sembilan pura yang berada di sembilan penjuru Bali sebagai lambang Padma Bhuwana yaitu simbol alam semesta atau Bhuwana Agung. Pura Pucak Mangu sebagai Pura Padma Bhuwana berada di arah barat laut tempat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Batara Sengkara -- dewanya tumbuh-tumbuhan.
Di Pura Pucak Mangu beliau dipuja di Meru Tumpang Lima dengan sebutan Batara Pucak Mangu dengan upacara piodalan-nya setiap Purnamaning Sasih Kapat. Sedangkan upacara melastinya ke Pesiraman Pekebutan yang terletak di Desa Bukian di sebelah timur Desa Plaga.
Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Penataran di Ulun Danu Beratan di Kabupaten Tabanan dan Penataran di Desa Tinggan Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Pura Penataran Tinggan terletak di Desa Tinggan Kecamatan Petang Kabupaten Badung ini didirikan pada tahun 1752 Saka atau 1830 Masehi oleh Cokorda Nyoman Mayun.
Di Pura Penataran Tinggan ini terdapat beberapa pelinggih pokok yaitu Meru Tumpang Sebelas pelinggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang sembilan pelinggih Batara di Teratai Bang, Meru Tumpang Tiga pelinggih Batara di Pucak Bon, Gedong dengan lima ruang (sejenis Pelangkiran) pelinggih Batara di Pucak Sangkur, Padma Rong Tiga untuk Pengubengan, Padmasana sebagai Surya pelinggih Saksi.
Dengan dibangunnya Pura Penataran Tinggan ini sehingga Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran. Pura Penataran yang pertama didirikan oleh I Gst. Agung Putu yang setelah menjadi Raja Mengwi pertama bergelar Cokorda Sakti Blambangan. Penataran Pura Puncak Mangu yang pertama didirikan tahun 1555 Saka atau tahun 1633 Masehi di tepi Danau Beratan karena itu disebut juga Pura Ulun Danu Beratan. Pura ini berada di sebelah Pura Dalem Purwa.
Di Pura Penataran pertama ini Ida Batara Puncak Mangu distanakan di Pelinggih Meru Tumpang Tiga, pelinggih ini juga disebut Pelinggih Lingga Petak, karena di bawah Meru itu dijumpai batu putih sebesar manusia diapit oleh batu hitam dan batu putih. Ada juga Meru Tumpang Pitu sebagai Pesimpangan Batara Teratai Bang. Meru Tumpang Sebelas sebagai Pelinggih Batara Ulun Danu atau disebut Batara Tengahing Segara.
Penataran Pura Pucak Mangu yang kedua didirikan tahun 1752 Saka atau tahun 1830 Masehi oleh Cokorda Nyoman Mayun. Hal ini disebabkan pada tahun tersebut Kerajaan Mengwi mengalami kemunduran. Puri Marga menguasai daerah di sekitar Danau Beratan pernah tidak patuh dan bermasalah dengan Kerajaan Mengwi.
Karena itu anggota kerajaan dan masyarakat Mengwi mengalami kesulitan kalau ingin sembahyang ke Pura Penataran di Ulun Danu Beratan. Karena itu Raja memutuskan untuk membangun Pura Penataran Pucak Mangu di Desa Tinggan. Hal itulah yang menyebabkan Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran.
Upacara di Pucak Mangu dilakukan dua kali setahun. Pada Purnama Sasih Kapat dilakukan upacara piodalan baik di Pura Pucak Mangu maupun di Pura Penataran Tinggan. Sedangkan Purnama Sasih Kapitu dilakukan upacara Ngebekin di kedua pura tersebut. Upacara piodalan dan upacara ngebekin di Pura Pucak Mangu diselenggarakan oleh delapan kelompok pemaksan yaitu Tinggan, Plaga, Bukian, Kiadan, Nungnung, Semanik, Tiyingan dan Auman. Delapan pemaksan inilah yang membantu Puri Mengwi untuk melaksanakan kedua upacara pokok tersebut.
Di samping upacara piodalan setiap tahun juga diadakan upacara Ngebekin. Fungsi upacara Ngebekin adalah sebagai sarana pemujaan kepada Tuhan sebagai Dewa Sangkara untuk memohon agar hasil tumbuh-tumbuhan terutama padi dapat berhasil dengan baik. Dewa Sangkara adalah manifestasi Tuhan sebagai penjaga tumbuh-tumbuhan. Banten pokok dalam upacara Ngebekin yakni Banten Sorohan Pelupuhan.
Upacara Ngebekin ini tujuannya adalah memohon Tirtha Ngebekin. Umat dari delapan kelompok pemaksan setiap upacara Ngebekin membawa sujang yaitu potongan bambu yang masih hijau sebagai tempat tirtha.
Tirtha Ngebekin ini tidak boleh digunakan untuk nyiratang atau diminumkan kepada manusia. Tirtha Ngebekin itu hanya untuk kasiratang (dicipratkan) kepada sawah ladang dan tumbuh-tumbuhan pertanian. Tirtha Ngebekin itulah sebagai simbol penyucian dan pemeliharaan segala tumbuh-tumbuhan pertanian sebagai sumber hidup umat manusia.
Upacara Ngebekin ini intinya tidak berbeda dengan upacara memandikan Lingga Yoni dalam sistem Siwa Pasupata. Air dengan berbagai perlengkapannya yang dijadikan sarana memandikan Lingga itu menjadi tirtha untuk memercikan tumbuh-tumbuhan di sawah ladang simbol mohon kesuburan.
Upacara memandikan Lingga inilah dilanjutkan dengan istilah upacara Ngebekin dalam sistem Siwa Sidhanta. Meski demikian, keberadaan Lingga di Pura Pucak Mangu tetap dipertahankan di Pelinggih Tepasana. Yang menarik di sini adalah banten utama yang digunakan di Pura Pucak Mangu adalah Banten Pelupuhan Bebek.
Banten-banten yang dipersembahkan ke Pura Pucak Mangu tidak boleh menggunakan daging babi. Kecuali kalau ada perbaikan pura terus dilangsungkan upacara Ngeruwak barulah banten Ngeruwak itu saja yang boleh menggunakan guling babi. Sedangkan di Pura Penataran Tinggan dipergunakan Banten Pelupuhan Babi.
Banten Pelupuhan Babi ini menggambarkan cerita Batara Wisnu turun mencari pangkal Lingga ke bawah dengan menjadi babi hitam. Terus ketemu dengan Dewi Wasundhari. Dari pertemuan itu lahirlah Boma. Dewa Wisnu simbol air dan Dewi Wasundhari simbol pertiwi. Pertemuan air dan pertiwi melahirkan Boma. Kata Boma dalam bahasa Sansekerta artinya pohon. Canakya Niti menyatakan bahwa air, tumbuh-tumbuhan, dan kata-kata bijak adalah tiga ratna permata bumi. Kalau tiga hal ini diutamakan oleh manusia maka kehidupan sejahtera itu pasti dicapai.
Sumber: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=563&Itemid=99
0 komentar:
Posting Komentar